Cerpen. Remaja Islam

Posted by Seputar Remaja on Tuesday 17 June 2014

Suara deburan ombak memecah kesunyian malam ini. suara patroli para tentara itu, bersahut-sahutan di radio. Adri malam ini ditugaskan hanya untuk menjaga pos, tidak sampai berpatroli mengelilingi hutan ataupun sekitar laut pulau misool. Adri, adalah seorang tentara yang ditugaskan menjaga pulau Misool, yaitu salah satu pulau yang berada di Papua Barat. Di sinilah awal kisah seorang tentara muda melawan sebuah kerinduan.
“Dri, ada surat buat kamu..”

Suara Ahmad, membuat Adri sedikit terkejut. Ahmad adalah salah satu teman penugasan Adri di pulau Misool ini. Adri pun mengambil surat yang di berikan oleh Ahmad, dengan raut wajah penuh tanya.
“Makasih ya Mad!”

Ahmad hanya mengacungkan jempol dari kejauhan. Adri segera membuka surat itu. Adri menghela nafas panjang, surat itu dari Emak nya yang ada di Aceh. Sang Emak, mengharapkan Adri untuk pulang di hari raya nanti. Adri melipat rapi surat itu dan memasukkan kembali surat itu ke dalam amplop.
sudah hampir 2 tahun Adri harus berpisah dengan emaknya. Dan ini adalah tahun kedua ia melaksanakan bulan puasa tanpa Emaknya. Wajarlah, Adri masih muda. umurnya baru 23 tahun, belum terfikir bagi adri untuk segera menikah.
Yang ia fikirkan adalah bagaimana membuat sang Emak bangga kepadanya.
“surat dari ibu mu Dri?”

Tanya Andi pada Adri. Andi, seorang tentara yang dituakan di penugasan itu. Andi juga adalah satu-satunya tentara yang asli dari Papua, sekaligus menjadi penanggung jawab selama berada di pulau 

Misool.
“Iya Pak. Ibu saya mengharapkan saya pulang lebaran nanti, tak ada hati membalas kembali surat dari ibu Pak, kalau saya tak bisa pulang lebaran nanti.”
Senyuman Adri di balik kegetiran perasaannya saat itu. Andi hanya terdiam sembari, membersihkan tombak kesayangannya. Andi memandangi lautan yang tepat berada di depan pos penjagaan itu.

“Inilah nasib seorang tentara Dri. Bisa-bisa kitorang mengalahkan bang toyib yang tak pulang-pulang ke kampung halaman. Kau jadi tentara, berarti nyawa dan jiwa mu telah kau berikan kepada Negara. Dan dirimu, adalah milik Negara sepenuhnya. Apapun yang terjadi Dri, hal utama yang kau temui adalah Negara. Itulah gunanya kau sekolah dulu sebelum jadi tentara, di gembleng lah kau untuk rela berkorban kepada Negara mu ini.”

Adri termenung. Keinginan dia menjadi seorang tentara adalah untuk membuat Emaknya bangga kepadanya, dan sekaligus memenuhi cita-cita almarhum Ayahnya. kini, ia malah membuat Emaknya dirundung pilu pada anak semata wayangnya ini. Andi beranjak dari tempat duduknya, membawa tombak dengan wajah kebosanan.
“Hei Dri, sa tangkap ikan dulu. Siapa tahu sa pu tombak jauh melesat sampai ke rumah istri! hahahah… eh, balas surat emak mu itu. kasihan, setidaknya surat itu bisa buat dia mengerti ko punya keadaan.”

Adri hanya tersenyum, Adri mulai berfikir bahwa atasannya ini mungkin sudah mulai stress karena penugasan berbulan-bulan ini. Adri pun termenung, dipenuhi kebimbangan akhirnya ia membalas surat sang emak tersayang.

Aceh, september 2006
Keheningan malam di tengah keriuhan kota Banda Aceh. Fatimah, dengan sabarnya memasukkan benang itu ke dalam kain rajutan. Sudah hal biasa baginya, duduk di depan jendela kamar dengan menyulam ataupun merajut. Baginya, hal itu sudah bisa membuat hatinya sedikit tak menghiraukan keadaan sebenarnya, yang merindukan anak tercintanya. 

Di balik lapis bening kaca, Fatimah merenung nun jauh di malam cerah ini. “apa kabar anakku tersayang? tak rindukah kau dengan emakmu ini? sudah sukseskah kau disana nak? setelah hampir 2 tahun lamanya kau tinggalkan emak mu ini.. berkali-kali mak melihat pintu itu itu nak, berharap kau datang dengan senyum di bibirmu, mak rindu kau nak,” tetesan air mata segera diusapnya. Enggan untuk membasahi pipinya lagi. Fatimah sungguh sangat merindukan Adri. Terlantun do’a dalam setiap sujud Fatimah, atas penantian Adri untuk kembali memeluknya.

“Assalamu’alaikum!!… Fatimah! Fatimah!”
Suara yang menggangu Fatimah pagi ini. sedikit berlari fatimah menuju pintu rumahnya. Sempat fatimah berfikir, apakah itu kabar dari Adri? atau hanya kabar dari tetangganya Ida, tentang kue lebaran untuknya? fikir Fatimah pun mulai tak jelas juntrungnya.

“wa’alaikumssallam.. eh, Ida! kenapa datang pagi-pagi begini? kau mau tawarkan kue kah?” sapa ramah Fatimah. Ternyata hanyalah tetangga sebelah rumahnya. Senyum pahit di ujung bibir fatimah, bukan Adri sepertinya yang ia dapatkan pagi ini.

“ini, tadi ada tukang pos menanyakan rumahmu. Surat dari Adri fatimah! mungkin dia hari raya akan pulang! siapkan kue yang banyak haa!” canda’an tetangga fatimah. Senyum lebar pun menghiasi ujung bibir fatimah. Tak sabar tangan fatimah untuk segera membukanya.

“terima kasih Ida, aku tak tahu… ah entahlah! begitu senang hati ini.”
“hahaha…! sudahlah mak cik, baca betul-betul surat anakmu itu. aku pulang dulu, banyak pesanan kue lebaran! assalamualaikum”

“wa’alaikumssalam… terima kasih ida!!! ”
Fatimah tak sabar lagi. Surat yang ia kirim di bulan juli itu, baru bisa ia terima balasannya seminggu sebelum hara raya, bulan september. Fatimah membaca seksama setiap untaian kata dalam surat itu. darahnya pun berdesir ketika membaca satu bait kalimat surat itu.

“… mak, maafkan Adri mak. Adri tak tahu kapan bisa pulang. Adri tak berjanji untuk pulang hari raya tahun ini. maaf mak, tapi adri janji akan pulang secepatnya.”

Fatimah terduduk lemas. Harus berapa lama lagi ia menunggu adri. Anak semata wayangnya yang ia tunggu-tunggu kehadirannya. Air matanya menetes tiada henti, kerinduannya pada adri, sungguh tak terbendung lagi. Di bawah mentari pagi yang menghangatkan fatimah, terselip satu mendung hitam yang menyedihkan bagi fatimah.

Misool, September 2006
“adri!! hei Adri! kau sini dulu!” Suara andi mengagetkan Adri yang sedang mencuci di belakang honai. Adri pun menghampiri andi yang tersenyum lebar di bawah jemurannya itu.

“ada apa pak? surat apa itu pak? dari emak saya lagi?” tanya adri penasaran. Andi dengan sigap membuka surat yang ia bawa sedari tadi dan diserahkannya kepada Adri. Adri tercengang bukan main.
Bagai mendapat uang yang jatuh dari langit, Adri senang bukan main.

“pak Andi! kita pulang! penugasan kita sudah selesai!! Hahaha…! mak! adri pulang mak!”
Andi dan adri pun tertawa sekencang-kencangnya. Ya, surat yang sedari tadi dibawa oleh Andi adalah surat berakhirnya penugasan mereka di pulau Misool ini. sesuai apa yang tertera di surat, Adri dan kawan-kawan sepenugasannya pun, mulai bersiap untuk menunggu speedboat jemputan mereka. 

Dalam pancaran senyum adri, selalu terbayang wajah sang emak tersayang. Tak lama lagi, kerinduan pada emaknya akan terhapuskan sudah, batin adri bergumam “cepatlah langkah kaki ini berpijak di rumah… dan melepas kerinduan pada emakku tersayang… ”

Sorong, september 2006
Sampailah adri di pelabuhan Sorong. Terik matahari yang membakar kulitnya tak ia hiraukan. Haus lapar karena puasa pun, seolah tak terasa baginya. Tanpa membuang waktu, adri pun menghampiri pangkalan ojek di sekitar pelabuhan sorong. Tujuan pertamanya adalah rumah pamannya. 

Dari sana ia bisa langsung bertelepon dengan emaknya. Wajarlah, selama penugasan tidak ada satu pun telepon di Honai tempat ia bertugas. Yang ada hanya radio, dan beberapa HT yang selalu ia bawa kemana-kemana.
“asslamualaikum! paman!”
Adri begitu semangat mengucapkan salam. Tak berapa lama, terdengar derap kaki pelan tapi pasti membuka pintu rumah itu.

“waalaikumssalam. Ya Allah.. adri! kau kah itu nak?”
Paman seolah tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Keponakannya ini memang tidak diduga-duga kedatangannya.

“hahaha. Paman, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Aku mau langsung pulang ke aceh. Tak sabar mau bertemu emak.” jelas adri pada paman.

“oh. Ya sudah, apa yang bisa paman bantu sebelum kau pulang ke aceh?” tanya paman.
Adri pun mengeluarkan secarik kertas dengan deretan angka di dalamnya.
“aku mau menelpon emak paman, bisa?”

Paman dengan senang hati mempersilahkan adri menghampiri meja telponnya. Adri bergegas memencet tombol yang ada sembari bergumam mengikuti angka dalam secarik kertasnya. Nada tunggu pun berbunyi agak lama. Dengan sabar adri menunggu jawaban telpon emaknya itu. tak lama, suara perempuan tua di seberang sana menjawab telpon Adri.

“asslamualaikum…”
“wa’alaikumssalam, mak.. ini Adri! adri akan pulang mak. Hari ini juga adri akan pulang. hari raya nanti adri pulang mak!”
Sempat ada kesunyian di seberang sana. Adri pun cemas. Apakah yang ia tuju betul nomor telepon rumahnya, atau salah sambung.

“alhamdulillah ya Allah! mak rindu kau nak… cepat pulang nak.”
Adri pun menangis bahagia. Setelah sekian lama ia meninggalkan sang emak. Baru sekarang ini ia mendengar suara emaknya. Suara penuh kerinduan. Adri pun meyudahi telponnya. Ia pun menghampiri paman yang sedang duduk di ruang tamu.

“paman, seminggu lagi hari raya idul fitri. Apa yang sepantasnya aku kasih ke emak paman?”
Paman tertawa mendengar pertanyaan adri. Ia menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan adri.
“adri.. adri. Paman mu ini, tak pandai memberikan hadiah pada orang lain. Kalau kau tanya pada paman, paman akan menjawab, berikanlah mak mu itu baju lebaran yang bagus, atau kalung, atau bahkan rumah! Hahaha… itu menurut paman, dri.”

Adri hanya tersenyum. Dalam fikirannya telah terlintas benda apa yang akan ia berikan pada emak tersayangnya. Sebuah kalung cinta untuk yang paling dicinta. Bergegas adri dan pamannya menuju toko perhiasan, uang yang baru adri dapatkan lebih dari cukup untuk membeli kalung dan tiket pesawat untuk pulang ke aceh. Waktu semakin cepat berlalu, entah mengapa adri begitu rindu dengan emaknya, terlebih ketika ia mendengar suara emaknya di seberang telpon. Ia merasa sangat jauh dari emaknya.

Banda aceh, September 2006
Hati siapa yang tak bahagia mendengar kepulangan sang anak tercinta. Begitupun dengan Fatimah. Penantiannya selama ini akhirnya berakhir juga. Sebentar lagi anak tercintanya akan menemuinya. 

Beribu khayal menghiasi setiap sudut fikiran fatimah. Sembari ia membereskan kamar Adri, Fatimah tersenyum sendiri. Di masa tuanya, tanpa seorang suami tentu sangatlah berat. Suaminya, telah meninggal pada tsunami 2004 lalu. Dan sekarang, hanya adri lah satu-satunya orang yang bisa menjaga fatimah di masa tuanya kelak. Fatimah pun terduduk di tempat tidur adri. Fatimah mengambil satu foto berseragam loreng milik Adri. Tangis bahagia tak terelakkan lagi. Apa yang diimpi-impikan suaminya tercapailah sudah. 

Adri sekarang sudah menjadi seorang tentara. Entah mengapa, fatimah sangat ingin memeluk adri. Sangat ingin melihat adri, mendengar suaranya kembali. Fatimah seperti merasakan ada sesuatu yang beda dari dirinya, dari perasaannya. Ia pun bergegas menuju meja telpon, dan menelpon Ali, paman Adri yang ada di Sorong.
“assalamualaikum, fatimah?” jawab seseorang di ujung telpon.
“iya ali. Adri ada? aku mau bicara dengannya.”

“adri, masih sholat Maghrib Fatimah. O’iya, rencananya ia kan pulang selepas subuh esok.”
Fatimah sempat diam beberapa saat. Sadar yang dituju tak ada, ia pun menyudahi telpon itu.
“oh, ya sudah. Terima kasih Ali. Bilang pada Adri, secepatnya pulang aku sangat merindukannya.”
“iya, pasti kusampaikan.”

Fatimah pun menutup telpon itu. jantungnya berdegub kencang ketika melihat foto adri tepat di depannya berdiri. Batin fatimah berkecamuk, “ada apa ini ya allah. Apapun yang terjadi jagalah anak hamba dalam setiap langkahnya…”

Sorong, September 2006
Alarm adri berbunyi. Jam 04.30 pagi, adri bergegas menyiapkan keberangkatannya. Paman dan bibinya sudah bangun sejak jam 4 pagi tadi. Hanya untuk menyiapkan keberangkatan adri ke Aceh.

Adri berdiri di depan kaca kamarnya. Merapikan baju Loreng kebanggaannya. Tak lupa, telah ia siapkan kalung untuk emak tercintanya. Kalung emas berliontin huruf f yang sangat cantik. Adri tersenyum bangga. Sejak ia menjadi tentara, baru kali ini ia bisa membelikan emaknya perhiasan. Terlebih, kalung itu adalah sebuah tanda cinta dan rindu untuk emaknya. Dipandanginya terus kalung itu. adri merasa sangat rindu pada emaknya.

“adri, ayo sholat subuh dulu. Paman dan makcik aisyah sudah sholat subuh duluan. Ayo..”
“iya paman..”
Adri bergegas mengambil air wudhu. Entah mengapa, adri merasa lebih aman menyimpan kalung itu di saku celananya. Adri menyempatkan untuk melihat jam. Jam 5 kurang 2 menit. Tangan adri seperti tak ingin lepas dari kalung itu. seperti ada yang berbeda. Adri berusaha tak menghiraukannya. Takbir mengawali shalat subuhnya.

“allahu akbar! gempa aisyah! gempa! adri! adri! keluar!”
Suara teriakkan memenuhi seisi ruangan rumah itu. terdengar teriakan orang-orang dari luar. Takbir, pujian pada sang kuasa berkumpul jadi satu. Gempa mengguncang begitu dahsyat. Semua barang-barang tak berhenti untuk terus berjatuhan. Paman menyuruh aisyah istrinya untuk keluar sedang ia mencari Adri di kamar shalat.

“adri! adri! keluar! allahu akbar! bruakkk!!!”
Atap rumah satu persatu jatuh. Adri masih tetap rukuk dan sujud dalam shalatnya. Tetesan air mata tak terbendung lagi. adri melafazkan bacaan shalat dengan begitu nikmat. Seolah merasa ketenangan yang sangat indah, adri terus melanjutkan shalatnya. Dalam hati hanya ada satu nama yang selalu ia sebut dalam setiap do’anya. Ibu tercintanya. Adri seolah tak merasakan apa yang sedang terjadi, reruntuhan semakin banyak berjatuhan. 

Begitu khusyuk ia melanjutkan shalatnya. Dalam tetesan air mata ketika sujud, terlantun sebuah do’a pada sang khalik “allahummagfirli waliwallidayya warkhamhumma kama rabbayani soghiro”

Paman berteriak sekencang mungkin. Usahanya menembus kayu-kayu yang jatuh itu tak ada gunanya lagi. rumah itu ambruk bersama sujud adri di dalamnya. Paman pun di tarik seseorang dari luar untuk menjauhi rumahnya yang tak berbentuk lagi. Adri…

Banda aceh, September 2006
Fatimah merapikan meja makannya. Hari ini adalah hari keberangkata adri. Ia pun menyalakan tv kesayangannya. Seperti biasa, ia mencari saluran tv yang berisi pengajian pagi. 

Tangannya pun berhenti memindah channel tv ketika ia melihat tayangan berita pagi tentang bencana gempa bumi di Sorong papua barat. Seketika jantungnya pun berdegub kencang, ia pun berdiri tetesan air matanya jatuh untuk kesekian kalinya. Rumah itu, Fatimah seperti mengenalinya. Itu rumah Ali. Ambruk tak berbentuk, fikirnya pun teringat pada Adri. Fatimah langsung menuju meja telpon. Barharap ada seseorang yang bisa mengabarkan tentang keadaan Adri.

Berulangkali ia memencet nomer telpon itu, berulangkali pula ia tak mendapat jawaban. Batinnya pun semakin tak tentu arah. Dari luar terdengar beberapa orang berkerumun mengetuk pintu rumah fatimah.
“assalamualaikum! fatimah!”

Fatimah dengan lemas membuka pintu itu. ida dan beberapa ibu-ibu lain melihat fatimah penuh sedih. Tak kuasa menanyakan keadaan Adri.

“fatimah, sudah kau dengar kah gempa bumi itu? bagaimana keaadan anakmu?”
Fatimah pun lunglai terjatuh sebelum menjawab pertanyaan ida. Pelan tak begitu jelas fatimah mengucapkan kata, yang entah terdengar oleh ida atau tidak. “anakku ya rabb…”

Sorong, September 2006
Ali memeluk aisyah erat. Sembari bibirnya tak berhenti menyebut nama sang Khalik. Beberapa orang pun mulai membongkar puing-puing rumah itu. gempa 7,9 SR telah membuat rumah itu hancur, dan adri. Ali tak berhenti menyalahkan dirinya sendiri yang tidak cepat menarik adri keluar rumah. Hati adri tak tentu arah, ia mencari apapun yang bisa ia gunakan untuk menghubungi fatimah.

“aisyah, tunggu lah kau disini. Aku akan mencari telepon, aku harus menghubungi fatimah.”
Masih dengan air mata mengalir di pipinya, adri mencari telpon yang bisa ia gunakan untuk menghubungi fatimah.

“permisi bapa, boleh saya pinjam hp kah? saya harus menghubungi sanak saudara saya yang di Aceh”
Seorang masyarakat setempat melihat ali penuh sedih. Ia pun memberikan hpnya dengan sukarela kepada ali.

“ini bapa, pake sudah. Pake sepuas bapa, sa juga mengerti bapa punya kesedihan, karena bapa pendatang di sini, bapa punya keluarga jauh di luar papua. Pake sudah bapa.”
Tanpa pikir panjang, ali pun segera menghubungi fatimah. Tak berapa lama terdengar suara keriuhan di ujung telpon.

“fatimah! halo fatimah?”
“ali! ini aku fatimah, bagaimana keadaanmu? bagaimana adri ali?”
Ali menangis sejadi-jadinya. Ia bingung, apa yang harus ia katakan?
“ali! jawab ali! halo? ali?”

Suara isak tangis fatimah menambah kebimbangan hati ali. Dengan isak tangis ali pun menjawab pertanyaan fatimah.
“fatimah, maafkan aku. Ali meninggal di dalam rumahku yang rubuh fatimah, ali meninggal ketika shalat dalam sujud fatimah..”

Tak kuasa lagi ali menahan tangisnya. Fatimah pun tak kuasa lagi menahan tangis. Dari telpon itu, ali begitu merasa bersalah. Mendengar isakan kakaknya yang begitu dalam.
“ya rabb, mengapa kau ambil anak sebaik dia? kenapa ya allah!!!”

Aceh, September 2006
Fatimah menangis sejadi-jadinya. 2 tahun lalu, adalah waktu dimana ia harus melepas suaminya, dan untuk terakhir kalinya melihat paras anaknya. Dan sekarang, ia harus benar-benar kehilangan adri anaknya yang tercinta. Fatimah tak kuasa untuk ingin bertemu adri, walau ia tak akan melihat adri tersenyum untuknya, ataupun memeluk erat dirinya lagi.
“ida, cari tiket pesawat. Aku ingin pergi menemui adri da..” suruh fatimah masih dengan tangis yang terus membanjiri wajahnya.

“tapi fatimah…”
“ida aku mohon… haruskah aku sujud di kakimu? aku ingin bertemu adri ida…”
Ida tak sampai hati untuk menolak apa kata fatimah. Hari itu juga, fatimah memutuskan untuk menyusul adri di sorong.

Sorong, September 2006
Ali dan aisyah untuk sementara harus tinggal di rumah salah satu tetangganya. Pencarian pun terus dilakukan. Hari semakin larut, namun Adri tak tertemukan juga. Dari kejauhan, ali melihat sorot lampu mobil menuju ke arahnya. Ia pun mendekati mobil itu. betapa terkejutnya ali dengan apa yang ia lihat. Fatimah dan ida turun dari mobil itu.
“fatimah..”

Tangis pun pecah seketika. Ida, aisyah, fatimah dan ali sungguh sangat berduka.
“fatimah aku minta maaf…” kata ali penuh sesal.

“tak apa ali, aku sudah ikhlas menerima apapun yang terjadi. Termasuk dengan adri, dia anak baik.”
Fatimah tersenyum diantara kepiluannya, berusaha menghibur ali.
“pak ali!!! kami menemukan adri!”

Seketika ali pun berlari ke arah puing-puing bangunan itu. ia pun menangis di samping tubuh adri. Fatimah pun terduduk di puing-puing itu. anaknya yang 2 tahun lamanya ia tunggu kedatangannya, kini tepat ada di depannya. Dengan senyuman di bibirnya, dan dia atas sajadah terbaring sembari memegang kalung emas. Ali mengambil kalung emas itu dan menyerahkannya pada fatimah.

“inilah kalung yang akan diberikan adri untuk mu. Subhanallah, tak ada luka ataupun goresan di tubuhnya, dan dia tersenyum.”
Fatimah menangis menggenggam kalung itu. inilah Adri, anaknya yang berbudi sungguh baik. Tiada yang lebih indah bagi fatimah untuk mengikhlaskan semua ini, ia tahu allah maha besar, allah maha tahu tentang apapun yang terjadi di dunia ini.

Hari-hari berlalu begitu cepat. Kepergian adri membawa kenangan terindah bagi fatimah. Lambat laun fatimah mulai terbiasa dengan kesendiriannya. Ada satu yang sebenarnya ia rasakan, ia merasa lebih dekat dengan adri, dan suaminya, ketika ia bersujud pada sang khalik.

Dan seorang tentara muda, yang melawan kerinduan. Yang harus tetap bertanggung jawab atas tugasnya sebagai seorang tentara di tengah kerinduan pada ibu tercinta. Sungguh, rindu adri tak pernah berujung pada ibunya.
Fatimah, dengan bangga memakai kalung emas itu. berusaha meniti hari lebih baik lagi. bersama kerinduan terindanhnya…

Blog, Updated at: 01:50

0 comments:

Post a Comment